Prevalensi Depresi

Kehidupan kota besar, urban life, yang tampak gemerlap dengan pertumbuhan ekonominya yang pesat, ibarat lampu petromak bagi sekumpulan laron. Setiap tahun ribuan orang menyemut memadati kota besar. Namun berbagai masalah sosial yang kemudian dihadapi membuat masyarakat urban itu menjadi rentan terkena stres, frustasi berkepanjangan, dan masa bodoh. Gaya hidup urban dicirikan dengan berbagai tekanan. Jalan yang semakin macet, letak rumah yang semakin ke pinggiran, hunian yang makin padat, naiknya harga kebutuhan sehari-hari, persaingan antara anggota masyarakat yang ketat, dan rintangan seperti "pameran" kehidupan mewah di depan mata dan hanya dinikmati warga berkecukupan, membawa masyarakatnya pada satu kata : stres.

Prevalensi depresi di masyarakat cukup tinggi, berkisar 5-10 persen, perempuan dua kali lebih banyak dibandingkan pria. Selain terkait dengan gangguan kejiwaan, depresi juga berdampak pada kesehatan fisik. Penelitian menunjukkan depresi mempengaruhi peningkatan mortalitas juga morbiditas pada pasien penyakit stroke, diabetes melitus, dan penyakit kardiovaskular. Depresi juga meningkatkan risiko bunuh diri, hampir 90% dari pasien depresi mengalami gangguan taraf sedang sampai berat dalam pekerjaan, rumah tangga atau pergaulan sosialnya. Penderita depresi juga beresiko tiga kali lipat kehilangan pekerjaan.

Dari sisi genetik, orang yang mempunyai bakat depresi akan lebih gampang menderita depresi bila ada stimulus. Jika faktor lingkungan muncul, misalnya, stres, kehilangan orang yang disayangi, penyalahgunaan obat, penyakit fisik (kronis), kehilangan pekerjaan, dan latar belakang sosial yang buruk, maka depresi lebih mudah muncul pada orang yang memiliki bakat depresi.

Menurut Irmansyah, risiko seseorang menderita depresi semakin besar bila kedua orangtuanya menderit
depresi, dibandingkan bila orangtua tidak menderita depresi. Survei pada orang yang mengalami depresi memperlihatkan bahwa anak-anak yang berasal dari orangtua yang menderita depresi sangat berisiko tinggi menderita depresi. Besarnya risiko berkisar 50 persen sampai 75 persen. Oleh karena itu, deteksi dini pada anak sangat diperlukan

Cara Mengendalikan Diri Sewaktu Depresi

Menjadi korban perang? Dicampakkan kekasih? Ditinggal mati orang terkasih? Dipecat dari pekerjaan? Tidak lulus ujian? Tidak jadi dipromosi? Kalah dalam sebuah kompetisi? Ditipu orang lain? Usaha bangkrut? Divonis dokter terkena penyakit parah? Dililit hutang berkepanjangan? Berkali-kali gagal mendapat pekerjaan?..
Tak ada seorang pun yang ingin mengalami hal-hal menyedihkan seperti tersebut di atas, yang membuat bumi tempat kita berpijak seakan mau runtuh. Namun nasib manusia yang bergulir seperti roda, tidak selalu berada di atas. Suatu saat, sebagai manusia biasa, bisa saja kita berada pada titik emosi yang paling rendah. Pada saat ini kita bisa saja merasa bahwa kita tidak punya kekuatan untuk keluar dari masalah. Kita juga merasa takut menghadapi risiko yang mungkin timbul. Sebagian dari kita mungkin ingin lari ke obat penenang, minuman keras, ataupun usaha bodoh lainnya untuk terbebas dari rasa depresi. Stop, jangan lakukan hal sia-sia tersebut, karena para ahli telah menemukan solusi bagi penderita depresi tanpa menggunakan obat penenang. Ingin tahu rahasianya? Olahraga Kathryn Lance, penulis buku Running for Health and Beauty mengemukakan bahwa senam merupakan upaya yang efektif untuk mengatasi depresi. Pendapat ini didukung sepenuhnya oleh para peneliti yang menemukan manfaat olahraga, terutama yang dapat memperlancar sirkulasi darah dan oksigen dalam tubuh, misalnya: lari, bersepeda, jalan cepat, dan berenang. Menurut para ahli kesehatan, jika emosi sedang pada posisi terendah, penderita dianjurkan untuk berolahraga selama 20 menit untuk tiap sesi dan dilakukan kurang lebih tiga kali dalam seminggu. Atau, jika kita senang beraktivitas di alam terbuka, kita bisa mencoba melakukan olahraga berkuda, hiking, ataupun naik gunung. Pemandangan alam di alam terbuka, bisa membantu menenangkan pikiran. Kegiatan Selain olahraga, penderita depresi juga dianjurkan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mengalihkan fokus perhatian mereka dari masalah kepada hal-hal lain yang menyenangkan dan dapat memberi efek ketenangan. Jika kita senang menghasilkan karya seni, misalnya: melukis, mengambil foto, menggambar, membatik, membuat patung, membuat barang-barang dari keramik; gunakan bakat ini untuk menyalurkan perasaan-perasaan negatif, dan menimbulkan ketenangan. Jika kita senang menulis, curahkan kesedihan kita pada puisi, surat, ataupun artikel yang bisa kita tulis. Kita juga dianjurkan untuk melakukan kegiatan-kegiatan lain yang tidak berfokus pada diri sendiri, melainkan pada orang lain, misalnya: membantu orang lain menyelesaikan tugas mereka, menghibur orang lain, merawat orang lain (misalnya: orang-orang yang sakit, yang sudah tua atau anak-anak terlantar), ataupun membagikan ilmu dan keterampilan pada orang lain. Jika kita berhasil membuat orang lain tersenyum, rasa bahagia tersebut biasanya akan menular juga pada kita, selain itu kita juga merasa bahwa hidup kita tidak sia-sia karena masih bisa berguna bagi orang lain. Pertanyaan Andrew Matthews dalam bukunya Being Happy memberikan ilustrasi yang menarik tentang pertanyaan-pertanyaan penting yang dapat digunakan untuk mengurangi rasa depresi: Ada seorang pria yang menelepon Dr. Robert Schuller. Pria tersebut bertanya pada sang dokter, ”Segalanya telah berakhir bagi saya. Saya telah kehilangan seluruh uang saya. Saya telah kehilangan segalanya.” Sang dokter pun kemudian bertanya, ”Apakah Anda masih bisa melihat? Apakah Anda masih bisa mendengar? Apakah Anda masih bisa berjalan? Karena Anda sedang bicara di telepon dengan saya, sudah jelas Anda masih bisa mendengar dan berkata-kata.” Semua pertanyaan tersebut dijawab sang pria dengan, ”Ya.” Lalu Dr. Schuller berkata dengan tegas, ”Rasanya Anda tidak kehilangan segalanya. Anda masih memiliki banyak hal. Jadi, Anda hanya kehilangan uang Anda.” Pertanyaan-pertanyaan ini pada intinya menggugah kita untuk berpikir positif dan menghargai hal-hal lain yang masih kita miliki. Orang Lain Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, begitu kata pepatah. Nasihat nenek moyang yang sering kita dengar ini juga bisa kita terapkan, yaitu dengan berbagi kepedihan kita pada orang lain yang kita percaya: orang tua, kakak atau adik, sahabat, pasangan hidup atau psikolog dan tenaga profesional yang khusus menangani masalah seperti ini. Dengan berbagai perasaan, beban perasaan yang kita tanggung akan terasa lebih ringan. Namun, tidak selamanya hal ini bisa kita lakukan. Mungkin saja, ketika diperlukan, orang tempat kita berbagi sedang sakit, sedang melakukan kegiatan lain sehingga tidak bisa dihubungi, ataupun sedang keluar kota. Jika hal ini yang kita hadapi, jangan putus asa dulu. Kita masih bisa berbagai rasa dengan buku harian ataupun sekedar secarik kertas, tentunya dengan menuliskan semua kekesalan ataupun kesedihan kita. Kita bisa juga berbicara dan merekamnya di tape recorder. Tujuannya adalah untuk mengeluarkan perasaan tertekan dari dalam hati kita, sehingga kita menjadi lebih lega. Makanan Catherine Houck dalam artikelnya, How To Beat A Bad Mood, yang dicetak kembali dalam versi ringkas di Reader’s Digest menuliskan banyak cara, salah satunya adalah makanan. Menurut Houck, para ahli menganjurkan penderita depresi untuk mengkonsumsi makanan yang mengandung karbohidrat (misalnya: roti, nasi, kentang, makanan yang mengandung tepung jagung). Karbohidrat dipercaya dapat menstimulasi otak untuk memproduksi serotonin yang dapat membuat kita merasa lebih tenang dan lebih rileks. Jenis makanan lain yang dianjurkan adalah protein, antara lain yang terdapat dalam ikan, ayam, dan daging sapi. Protein dianggap dapat memulihkan daya kerja otak, sehingga kita menjadi lebih segar dan lebih bergairah dalam menjalani hidup ini. Yang tidak dianjurkan untuk dikonsumsi adalah segala sesuatu yang mengandung kafein tinggi, karena zat ini dapat meningkatkan rasa depresi dan kecemasan pada sebagian orang. Warna Psikolog yang mengkhususkan diri membahas pengaruh warna, Patricia Szczerba, menyarankan untuk memilih warna-warna yang tepat untuk mengendalikan perasaan kita. Jika sedang marah, tegas, atau cemas yang berlebihan, sebaiknya kita memilih warna-warna netral dan warna-warna muda (biru muda, hijau muda) yang dapat memberikan ketenangan, dan menghindari warna merah, yang dapat meningkatkan kecemasan. Jika sedang pada titik emosi terendah (depresi, sedih), hindari warna-warna gelap dan tua (hitam, biru tua) yang bisa menyebabkan kita merasa lebih tenggelam dalam kesedihan, dan kelilingi diri kita dengan warna-warna cerah yang membawa keceriaan. Musik Yang juga dianggap efektif oleh para ahli untuk menghilangkan rasa sedih adalah musik. Carol Merle-Fishman, salah satu penulis buku The Music Within You mengemukakan bahwa jika kita sedang marah, kita dianjurkan untuk mendengarkan musik-musik dengan ritme tinggi, dan jika sedang sedih, mendengarkan musik-musik melankolis. Jadi, musik yang kita pilih disesuaikan dengan perasaan yang sedang kita alami. Tujuannya adalah untuk menetralisasi perasaan negatif tersebut dengan ritme musik yang sesuai. Setelah itu, barulah kita bisa mendengarkan musik-musik yang lebih ceria (jika sedang sedih), atau yang lebih lembut (jika sedang marah). Tentu saja, selain mendengarkan musik, kita juga bisa memainkan alat musik yang kita kuasai. Dengan memainkan alat musik, kita bisa mendapat manfaat tambahan, yaitu menyalurkan kesedihan ataupun kecemasan kita pada kegiatan memainkan alat musik tersebut. Jadi, jika bumi tempat Anda berpijak seperti mau runtuh, Anda tidak perlu bingung, ataupun terjebak melakukan hal-hal yang sia-sia yang mungkin malah akan memperburuk suasana. Cobalah menerapkan usulan-usulan para ahli di atas. Siapa tahu ada yang cocok untuk Anda